Tulisan-tulisan yang ada di dalam blog ini dibuat dengan bersusah payah. Hargailah dengan TIDAK meng-COPY/PASTE.

Rabu, 03 Juni 2020

Ingatan Manusia yang Payah - Ulasan Selayang Pandang Jiwa Pelaut, Jiwa Pejuang, Jiwa Patriot dan Jiwa Bahari

Oh, rinduku padamu akhirnya tuntas. Kecup. Kecup.
Ingatan Manusia yang Payah - Ulasan Selayang Pandang Jiwa Pelaut, Jiwa Pejuang, Jiwa Patriot dan Jiwa Bahari
oleh Jannu A. Bordineo

Aku pernah mengulas Jiwa Pelaut. Di ulasan yang kutulis berdasarkan ingatan dari buku yang kubaca bertahun-tahun sebelumnya itu, aku bilang ingat betul isinya.

Tapi, manusia memanglah makhluk dengan ingatan yang payah.
lautankata.com
Meski ada beberapa bagian yang terpatri kuat dalam benakku, ternyata setelah membaca ulang, ada juga bagian yang betul-betul luput dari ingatan.

Adalah keberadaan dan peran wanita dalam kisah nyata tersebut.

Aku memang ingat di antara para petugas khusus yang diantar Semeru dan Sindoro ada seorang gadis—dia satu-satunya gadis dalam pelayaran rahasia itu. Namun, ingatanku sebatas; gadis tersebut hanya disebutkan saja di bagian akhir buku, menjadi salah seorang yang ditangkap Belanda. Yang aku tidak ingat, bahwa gadis itu, Anna Luhukay namanya, juga disebutkan di sepanjang cerita dan bahkan berinteraksi langsung dengan si Anto. Malah ada celetukan dari si Anna ini yang membangkitkan tawa yang lainnya, baik itu para ABK maupun sesama petugas khusus.
lautankata.com
Aku juga lupa akan Zus Martha*, padahal perannya sangat vital. Dialah, bersama Ahmad Tahir, yang menyelundupkan para petugas khusus ke Ambon yang dijaga ketat penjajah Belanda. Sepertinya alam pikiran bocah yang hanya tertarik pada laga dan petualangan saja yang membikin keberadaan perempuan semenarik itu tidak menempel kuat dalam ingatanku.

Selain itu, aku juga salah ingat, Anto dan Yos Sudarso berbeda kapal sedari awal. Yang benar, dua pemuda karib ini semula berada di kapal yang sama: Sindoro. Namun, kemudian Anto diminta untuk membantu di Semeru yang kekurangan tenaga ahli mesin gara-gara dua orang ahli mesin Semeru jago mabuk sehingga tidak berdaya saat badai menerjang—ada kejutan menarik di bagian akhir buku perihal hal ini. Yang justru kuingat betul adalah adegan perpisahan Anto dan Yos Sudarso untuk selama-lamanya:

//Hari sudah mulai gelap. Kedua kapal sudah hendak saling menjauhkan diri, agar tidak terjadi saling bentur dalam kegelapan malam. Anto masih sempat melihat Yos Sudarso melambai memanggilnya, lantas mengangkat kedua belah tangan dengan sikap mengucapkan takbiratulihram. Anto memahami isyarat Yos itu. Maksud Yos pasti berpesan agar Anto segera menunaikan salat Magrib. Anto mengangguk menyanggupi pesan taqwa dan taufik dari teman Katoliknya yang baik itu. Yos tersenyum sambil mengacungkan ibu jari kanannya.
lautankata.com
Sedikit pun tak terlintas dalam benak Anto bahwa itu adalah wajah Yos Sudarso, teman akrabnya, yang terakhir kali dilihatnya.//

Setelah membaca ulang Jiwa Pelaut, aku juga menyadari kemungkinan sosok Anto yang ahli mesin ini juga punya andil dalam menguatkan keinginanku dulu untuk sekolah di STM (SMK) di jurusan mesin. Sementara alasan utamaku masuk jurusan mesin adalah agar aku bisa bikin generator listrik karena kampung halamanku dulunya hanya teraliri listrik 12 jam saja dalam sehari dan sering mati lampu pula—keinginanku untuk bisa bikin generator sendiri memanglah tak terwujud, tapi tak mengapa, listrik dari PLN sudah lebih baik sekarang.

***

Keempat buku ini ceritanya berkesinambungan secara langsung. Urutan kronologisnya adalah Jiwa Bahari, Jiwa Patriot, Jiwa Pejuang, Jiwa Pelaut. Waktu SD dulu yang kubaca adalah Jiwa Pelaut, karena hanya itulah yang ada. Maka dari itu ada beberapa hal yang dulu membingungkanku lantaran aku tidak membaca prekuel-prekuelnya. Bahkan dulu aku mengira ada sekuelnya yang berjudul Jiwa Petualang—sampai kusebutkan di ulasan (yah, nanti kurevisi).
lautankata.com
Cerita dalam buku-buku ini adalah kisah nyata, jadi nama-nama seperti Yos Sudarso bukanlah sekadar catutan. Penulisnya sendiri, Moerwanto, merupakan pelaku sejarah yang terlibat langsung yang mewujud dalam sosok Anto di dalam cerita—penulisan kisah nyata dalam bentuk novel dan sudut pandang ketiga (kecuali Jiwa Bahari yang memakai sudut pandang pertama) seperti ini mengingatkanku pada tulisan-tulisan kisah/sejarah klasik. Dan sebab itu pula, aku tidak tahu, apakah si Anto ini bisa disebut tokoh utama? Sebab penulis terkadang rasanya seperti menempatkan diri Anto seolah bukanlah siapa-siapa, seperti seorang tokoh sampingan yang kebetulan terlibat peristiwa yang sama dengan tokoh besar lain—Yos Sudarso, Mulyadi dan beberapa nama lain di kemudian hari memang menjadi petinggi ALRI. Tapi satu hal yang jelas, kisah ini dituturkan melalui sudut pandang Anto.



Data masing-masing buku:

Jiwa Bahari: 64 halaman, ISBN 978-623-221-092-9
Jiwa Patriot: 127 halaman, ISBN 978-623-221-094-3

Jiwa Pejuang: 123 halaman, ISBN 978-623-221-096-7

Jiwa Pelaut: 127 halaman, ISBN 978-623-221-098-1








*Zus itu pasangannya bung. Kalau bung adalah kata sapaan untuk laki-laki, maka zus adalah kata sapaan untuk perempuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah yang santun dan sesuai dengan isi tulisan.