Tulisan-tulisan yang ada di dalam blog ini dibuat dengan bersusah payah. Hargailah dengan TIDAK meng-COPY/PASTE.

Jumat, 12 Juni 2020

[Esai] "Lingsir Wengi" Dianggap Pemanggil Setan, "Lathi" Dianggap Sejenis Setan

Tangkapan layar gambar yang dimaksud.
Catatan:
Pertama kali diterbitkan sebagai status FB di hari yang sama.

Esai oleh Jannu A. Bordineo

"Lingsir Wengi" dianggap pemanggil setan, "Lathi" dianggap sejenis setan.

Ini bisa menjadi sinyalemen buruk, betapa semakin berjaraknya masyarakat dengan seni dan budaya.
lautankata.com
Ketidakmampuan masyarakat dalam memahami ekspresi seni, dipadupadankan dengan keterasingan dari budaya sendiri, bisa menghasilkan pengertian yang sama sekali baru lagi sesat. Semacam peyorasi kalau dalam bidang linguistik.

Kita semua tahu asal kesesatan pemahaman terhadap tembang/lagu "Lingsir Wengi": sebuah film horor. Lalu sekarang "lathi", sebuah kata dari bahasa Jawa yang berarti "lidah", agak-agaknya hendak mengalami hal yang sama. Tapi kali ini bukan film, melainkan video musik.

Sebelum berlanjut lebih jauh… boleh jadi ada yang hendak menyanggah atau menganggap aku terlalu berlebihan. 'Ini hanya fanart biasa, dan mungkin malah sebuah penghargaan terhadap video musik tersebut'. Benar, aku setuju dengan itu. Namun, ada satu hal yang bikin aku menulis panjang lebar begini. Coba lihat gambar selanjutnya atau sebelumnya. Ya, ilustrasi ini bersanding dengan makhluk-makhluk mitologi Nusantara. Mau tak mau aku jadi membayangkan "lathi" ini akan bernasib sama seperti "Lingsir Wengi". Andai kata ilustrator membuat ini bukan karena kesalahan persepsi terhadap video musik "Lathi", ada baiknya buat sangkalan: bahwa ini hanya rekaan semata, yang terinspirasi dari video musik "Lathi".
lautankata.com
Sekarang kita beralih pada video musiknya. Kita patut mengapresiasi usaha pemusiknya yang mau mengangkat budaya Nusantara. Judul "Lathi" diambil dari frasa "ajining diri ana ing lathi"—sebuah peribahasa Jawa, dan sepertinya menjadi napas utama lagu tersebut. Selayaknya sebuah karya seni yang melahirkan berbagai macam interpretasi sebagai bentuk apresiasi, demikian pula dengan "Lathi".  Sayangnya banyak yang interpretasinya sesat dan menjurus pada hal-hal klenik. Sudahlah tak masuk akal, ngasal pula. Heran, dari sekian banyak yang bisa diulas—tema, musik, lirik, koreografi, sinematografi, kesesuaian dengan tema, dan lain sebagainya—kok ya larinya ke klenik lagi, klenik lagi.

Selain faktor pola pikir kebanyakan masyarakat kita, aku pikir ketidakpahaman terhadap esensi dari suatu produk budaya juga memiliki andil dalam lahirnya persepsi-persepsi seperti ini. Jika masyarakat semakin berjarak dengan budayanya sendiri, hingga terpisah sama sekali, tidak menutup kemungkinan ke depannya setiap produk budaya leluhur akan terkerdilkan, dipandang sebagai hal-hal klenik semata. Mau bukti? Keris.
lautankata.com
Lepas dari kerangka seni dan budaya, barangkali ini bisa menjadi contoh nyata dari logika mistika yang diutarakan Tan Malaka dulu, yang membelenggu alam pikiran manusia Indonesia, yang menjauhkannya dari yang namanya merdeka. Sebagai entitas politik, Indonesia memanglah sudah merdeka. Sebagai manusia? Tunggu dulu. Salah satu cara memerdekakan bangsa Indonesia menurut Tan adalah melalui pendidikan. Pendidikan yang baik akan menghasilkan insan-insan yang berpikiran kritis, salah satu ciri manusia merdeka. Kalau begitu, ini juga menjadi peringatan atas buruknya mutu pendidikan negeri kita, ya?

Oh, ya, satu hal lagi. Alasan aku menulis cerita fantasi dengan mengambil rujukan dari mitologi-mitologi tempatan (lokal) Indonesia, agar orang-orang yang membaca menjadi berpikir bahwa semua itu hanyalah dongengan belaka. Ternyata aku sudah menentang cara berpikir ala logika mistika jauh sebelum aku mengenal istilah tersebut.


Bacaan lanjutan:
Aksi Massa
Madilog
https://historia.id/politik/articles/tan-malaka-dan-logika-mistika-kaum-sebangsa-P4nAm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah yang santun dan sesuai dengan isi tulisan.