"Ada apa Mbok? Kenapa melarangku ke laut?" Tanyaku.
"Bukannya Simbok mau melarangmu, tapi perasaan Mbok nggak tenang!" Simbok mencoba menjelaskan padaku.
"Kalau aku nggak kelaut, kita makan apa Mbok?"
Simbok terdiam. Bingung, tak tahu harus mengatakan apa.
"Ya sudah Mbok, aku kelaut dulu. Mbok doakan aja biar anakmu ini bisa mendapat banyak tangkapan."
Tempat menangkap ikan ini dekat dengan pulau kecil yang diberi nama Pulau Ikan Kecil. Dulu katanya di dekat pulau Ikan Kecil ada sebuah pulau yang cukup besar bernama Pulau Ikan Besar. Menurutku itu cuma omong kosong, karena di laut sekitar sini tidak ada pulau lain selain Pulau Ikan Kecil.
Sambil menunggu waktu mengangkat jaring, aku memancing. Tiga ekor ikan kakap yang cukup besar berhasil terkail olehku. Karena kelelahan, aku beristirahat sejenak sambil memandang ke Pulau Ikan Kecil.
Pulau itu berbentuk bukit kecil dan pantainya tebing yang curam. Tapi di salah satu sisi pantai ada yang landai dan disana terdapat sebuah batu besar yang dari sela-sela retakannya keluar air yang sangat jernih. Kami menyebutnya Mata Air Suci.
Tanpa ku sadari, awan mendung bergerak mendekati tempat penangkapan ikan. Angin berhembus kencang. Gelombang mulai meninggi. Aku langsung menaikkan jaring. Ku lihat nelayan lain juga melakukan hal yang sama denganku.
Aku segera menghidupkan mesin perahu. Cuma ada dua perahu selain aku yang berhasil ku lihat dan jaraknya pun sudah agak jauh.
Aku tidak bisa langsung tancap gas. Gelombang besar menghambatku. Ketinggiannya sudah mencapai tiga meter. Kengerian menyergapku. Apalagi kenyataan kalau aku sendirian membuatku tambah ngeri. Aku tidak takut, karena darah pelaut mengalir dalam nadiku.
Ku kerahkan seluruh kemampuanku untuk terlepas dari badai ini. Perahu kecilku meliuk-liuk diantara gelombang yang besar. Datang sebuah gelombang dari sisi kiri yang lebih besar. Sebisa mungkin kuhindari.
Bisa!!!
Aku semakin merasa ngeri karena ku tahu, gelombang berikutnya akan menenggelamkan perahuku.
Dugaanku tidak meleset. Gelombang berikutnya menerjang, sedangkan perahuku belum berada pada posisi normal karena tadi terhempas. Bagian depan perahu masuk ke dalam gelombang.
Aku memejamkan mata.
Kurasakan air menghantamku dengan keras dan gelombang menggulungku.
(Part 2, Part 3)
"Bukannya Simbok mau melarangmu, tapi perasaan Mbok nggak tenang!" Simbok mencoba menjelaskan padaku.
"Kalau aku nggak kelaut, kita makan apa Mbok?"
Simbok terdiam. Bingung, tak tahu harus mengatakan apa.
"Ya sudah Mbok, aku kelaut dulu. Mbok doakan aja biar anakmu ini bisa mendapat banyak tangkapan."
LautanKata
Setelah mempersiapkan bekal, aku segera mengarungi laut. Sendirian. Menggunakan perahu milik ayahku yang merantau entah kemana. Perjalanan ke tempat penangkapan ikan membutuhkan waktu 3 jam. Sampai di tempat penangkapan ikan, aku segera menurunkan jaring karena sudah banyak nelayan lain yang hadir.Tempat menangkap ikan ini dekat dengan pulau kecil yang diberi nama Pulau Ikan Kecil. Dulu katanya di dekat pulau Ikan Kecil ada sebuah pulau yang cukup besar bernama Pulau Ikan Besar. Menurutku itu cuma omong kosong, karena di laut sekitar sini tidak ada pulau lain selain Pulau Ikan Kecil.
Sambil menunggu waktu mengangkat jaring, aku memancing. Tiga ekor ikan kakap yang cukup besar berhasil terkail olehku. Karena kelelahan, aku beristirahat sejenak sambil memandang ke Pulau Ikan Kecil.
Pulau itu berbentuk bukit kecil dan pantainya tebing yang curam. Tapi di salah satu sisi pantai ada yang landai dan disana terdapat sebuah batu besar yang dari sela-sela retakannya keluar air yang sangat jernih. Kami menyebutnya Mata Air Suci.
Tanpa ku sadari, awan mendung bergerak mendekati tempat penangkapan ikan. Angin berhembus kencang. Gelombang mulai meninggi. Aku langsung menaikkan jaring. Ku lihat nelayan lain juga melakukan hal yang sama denganku.
LautanKata
Menaikkan jaring yang berukuran sedang bagi anak berusia 17 tahun sepertiku cukup melelahkan dan menghabiskan banyak waktu. Apalagi jika sendirian atau banyak ikan yang tertangkap. Dengan bersusah payah aku berhasil menaikkan jaring. Aku terengah-engah kelelahan karena tangkapan ternyata lumayan banyak. Ditambah lagi gelombang mulai tinggi.Aku segera menghidupkan mesin perahu. Cuma ada dua perahu selain aku yang berhasil ku lihat dan jaraknya pun sudah agak jauh.
Aku tidak bisa langsung tancap gas. Gelombang besar menghambatku. Ketinggiannya sudah mencapai tiga meter. Kengerian menyergapku. Apalagi kenyataan kalau aku sendirian membuatku tambah ngeri. Aku tidak takut, karena darah pelaut mengalir dalam nadiku.
Ku kerahkan seluruh kemampuanku untuk terlepas dari badai ini. Perahu kecilku meliuk-liuk diantara gelombang yang besar. Datang sebuah gelombang dari sisi kiri yang lebih besar. Sebisa mungkin kuhindari.
Bisa!!!
LautanKata
Tapi aku tidak siap untuk gelombang berikutnya. Perahuku terangkat dan terhempas keras hingga terdengar bunyi retak.Aku semakin merasa ngeri karena ku tahu, gelombang berikutnya akan menenggelamkan perahuku.
Dugaanku tidak meleset. Gelombang berikutnya menerjang, sedangkan perahuku belum berada pada posisi normal karena tadi terhempas. Bagian depan perahu masuk ke dalam gelombang.
Aku memejamkan mata.
Kurasakan air menghantamku dengan keras dan gelombang menggulungku.
(Part 2, Part 3)
Oleh Jannu A. Bordineo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah yang santun dan sesuai dengan isi tulisan.