Tulisan-tulisan yang ada di dalam blog ini dibuat dengan bersusah payah. Hargailah dengan TIDAK meng-COPY/PASTE.

Senin, 20 Juli 2020

Tiger Dance - Sebuah Ulasan

Tiger Dance di antara Pamor Series.
Tiger Dance - Sebuah Ulasan
oleh Jannu A. Bordineo

Tiger Dance adalah cergam terbaru karya Is Yuniarto, salah seorang cergamis kesohor Indonesia. Cergam ini terbit digital melalui Google Play Buku.

Awalnya kukira cergam ini adalah one-shot. Namun, mengingat tema yang dibawakannya cukup berat, aku tidak kaget jika cerita ini akan terus berlanjut, dan jilid ini bisa berperan sebagai prolog dari seri ini.
lautankata.com
Berkebalikan dari temanya yang berat, nuansa dan gaya bahasa cergam ini justru sangat ringan. Terlepas dari selera pribadiku, sejujurnya ini di luar pengharapanku. Aku mengharapkan cerita yang lebih serius dan mendalam, yang sesuai dengan temanya yang melawan kekuatan kolonial Eropa. Perlawanan pada kekuatan penjajah di Nusantara hampir selalu menghasilkan tragedi yang lantas dituturkan sebagai kisah-kisah kepahlawanan. Sejauh pengetahuan sejarahku, hanya sekali kekuatan dari Nusantara menang mutlak atas kekuatan Eropa. Kemenangan mutlak itu bukanlah kemerdekaan Indonesia (ingat sebagai ganti pengakuan kedaulatan, Indonesia harus membayar utang warisan Belanda), melainkan keberhasilan Sultan Baabullah dari Ternate mengusir Peranggi (Portugis) dari Maluku. Ternate tidak hanya menang secara politis, tetapi juga taktis. Pendek kata, menang atas segala-galanya. Mutlak.

Bukan berarti haram menghadirkan cerita sejarah perlawanan pada penjajah dengan nuansa yang ringan nan jenaka. Aku sadar penggunaan gaya yang ringan begini untuk memikat kawula muda, sasaran yang hendak dituju untuk menanamkan semangat nasionalisme, cinta tanah air. Hanya saja, bagaimana nantinya membangun suasana cerita menuju pada tragedi yang—menurutku—besar kemungkinan akan hadir dalam cerita? Aku tidak berpikir tokoh-tokohnya akan selalu ketiban untung tanpa pernah buntung. Kalaupun mereka selalu beruntung, bahkan ketika menghadapi kekuatan-kekuatan Eropa, aku rasa pengarang harus pintar-pintar mencari celah dalam sejarah untuk menempatkan kemenangan mereka sehingga tidak mengganggu alur sejarah nyata.
lautankata.com
Jika aku ditodong untuk memberikan contoh nuansa atau gaya bahasa yang  (menurutku) lebih cocok untuk cerita ini, maka aku akan menunjuk karya lain pengarang yang baru-baru ini kubaca, yang bisa dijadikan rujukan nuansa dan gaya bahasa yang kumaksud: Bumi Tiga Warna, sebuah one-shot yang istimewa.

Pengarang juga bisa menilik cergam silat jadul yang ada dalam naungan Bumilangit, juga cersil-cersil lama, untuk dijadikan bahan pertimbangan. Bukan berarti aku menyarankan untuk meniru gaya para maestro. Sama sekali tidak. Kita bisa membaca karya mereka sebagai rujukan, agar kita bisa menghadirkan nuansa yang sesuai dengan latarnya dengan gaya kepenulisan kita sendiri.

Bertalian dengan kebahasaan, aku banyak menemukan kata maupun istilah yang menurutku tidak sesuai latarnya.

Ekspedisi
Informasi
Legendaris
Kombo
Level

Yakin orang-orang di zaman itu sudah mengenal kata-kata tersebut? Kalau di narasi sih, masih bisa diterima. Sementara kalau menemukannya di percakapan, alisku serta-merta mengkerut.
lautankata.com
Selain itu, kenapa "Vidya"? Kenapa tidak "Widya"? "Visnu" saja menjadi "Wisnu" di sini. Selain pengucapannya mirip, lidah orang-orang kita dulunya tidak mengenal "ve". Ini bisa dilihat di aksara Jawa, misalnya. Hanacaraka dst.

Pemakaian istilah yang kusoroti terutama pada nama-nama jurusnya.

"Kombo Maut Macan Gila" bisa diubah menjadi "Langkah Maut Macan Gila"

"Badai Bunga Musim Panas". Jangan-jangan si Vidya ini asalnya dari utara India yang bermusim empat, makanya namanya Vidya. Bercanda. Aku tahu maksudnya adalah musim kemarau. Jadi kenapa tidak pakai nama "Badai Bunga Musim Kemarau" saja? Selain sesuai dengan satu dari hanya dua musim di Nusantara yang tropis, juga sesuai dengan waktu berbunganya pohon buah di penghujung musim kemarau. Atau kalau mau yang lebih sangar: "Amuk Sekar Mangsa Ketiga" (baca: Amuk Sekar Mongso Ketigo). Akan sangat menarik dan keren bila nama-nama jurus silat Sukma Melati memakai nama-nama waktu/musim dalam kalender pranatamangsa.

Lepas dari kebahasaannya, mari kita menilik ke penokohannya.
lautankata.com
Aku tidak bisa melepaskan bayang-bayang cergam Garudayana (karya lain Is Yuniarto) ketika membaca cergam ini. Saka adalah versi cewek dari Kinara. Gareng, Petruk, Bagong bahkan namanya sama, dengan peran yang relatif sama. Aku tidak tahu apakah Garudayana masuk ke dalam Bumilangit atau tidak, tapi ini jelas bisa menimbulkan ketaksaan.

Saka sendiri dicitrakan sebagai pendekar muda yang songong tapi ceroboh, dan kecerobohannya (bersama ketiga kawannya) inilah yang sering dijadikan jenaka dalam cerita. Ada saat-saat dia diperlihatkan menjadi sangat hebat, yaitu dalam keadaan tidak sadar (trance), sesuatu yang jamak digunakan dalam cerita untuk menampilkan sisi keren dari sosok yang culun.

Untuk "Trio Punakawan" (Bagaimana kalau pakai istilah "Tiga Serangkai Punakawan"? Atau sekalian saja mengikutkan Saka sehingga menjadi "Empat Sekawan"?), kesan tokoh tempelan pada ketiganya begitu kuat. Kecuali di bagian akhir, keberadaan atau ketiadaan ketiganya tidak memberikan dampak yang berarti di sepanjang cerita. Mereka bertiga perlu diberi peran lebih dalam cerita. Menguasai ilmu pengobatan, misalnya.

Vidya dengan jargon "di luar keadilan"-nya sepertinya ingin ditampilkan sebagai sosok yang besahaja. Sayangnya, aku harus jujur, citra yang terbentuk kuat sekali kesan artifisialnya.

Sulit sekali keluar dari jurang stereotip, aku akui itu. Dan tokoh-tokoh di atas kena jerat stereotip semua, tidak terkecuali Saka—meski dia masih tertolong oleh sitkom yang dihasilkan dari tindak tanduknya. Namun bila kita bisa melepaskan tokoh-tokoh karangan kita dari stereotip, hasilnya adalah tokoh yang akan melekat kuat di benak para pembaca.
lautankata.com
Satu hal lagi yang perlu dijadikan periksa. Latar waktu cergam ini adalah abad ke-17. Perlu diingat bahwa kekuatan kolonial Eropa sudah mulai menancapkan taringnya di Nusantara sejak seabad sebelumnya, yaitu ketika Malaka jatuh ke tangan Peranggi tahun 1511. Barangkali narasi di halaman pertama boleh di revisi.

Untuk model perahu yang digunakan Petruk, Gareng, Bagong di halaman akhir, aku tidak mau banyak berkomentar. Cuma kasih satu kata kunci: layar tanjak.

***

Terlepas dari hal-hal yang kukritisi di atas, aku cukup menikmati cergam ini, yang bisa kutuntaskan sepintas lalu meski tanpa memberikan kesan yang mendalam (jika dibandingkan dengan dampak yang kurasa ketika, katakanlah, membaca bab pertama Shingeki no Kyojin yang jumlah halamannya tidak jauh berbeda).

Format cergam dalam bentuk buku (geser ke samping) memberi nilai lebih bagiku yang tidak suka format vertikal (geser ke atas-bawah).
lautankata.com
Kekonsistenan Is Yuniarto dalam menghadirkan cerita-cerita yang kaya akan unsur-unsur tempatan Nusantara patut di apresiasi lebih.

Yang jelas, cergam ini layak (worth it) untuk dibaca, diikuti serinya oleh kalian, apalagi jika ingin membuktikan bahwa ulasanku ini bisa saja prematur—aku sadari itu.

***

Blurb Tiger Dance hasil suntinganku:
.
.
.
Nusantara, Abad ke-17 Masehi

Saka adalah seorang pendekar semenjana yang selalu sesumbar akan ilmu silat termasyhur yang dikuasainya: Tarian Harimau. Tak banyak yang tahu, Saka tidak sepenuhnya menguasai ilmu silat tersebut karena di tengah pelatihan, gurunya, Sang Singa Barong, tiba-tiba menghilang tanpa jejak.
lautankata.com
Bersama tiga kawan setianya, "Tiga Serangkai Punakawan", Saka memulai perjalanan untuk mencari keberadaan sang guru. Dalam perjalanan, mereka bertemu seorang gadis pendekar tak dikenal bersenjata keris raksasa dan menguasai ilmu silat Sukma Melati.

Setelah satu kesalahpahaman kecil, mereka akhirnya memutuskan bertualang bersama mengarungi Nusantara, mencari guru Saka dan menghadapi orang-orang yang bersekongkol dengan para pedagang asing dalam kecurangan untuk menguasai perdagangan rempah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah yang santun dan sesuai dengan isi tulisan.