Tulisan-tulisan yang ada di dalam blog ini dibuat dengan bersusah payah. Hargailah dengan TIDAK meng-COPY/PASTE.

Sabtu, 10 November 2018

[Kepenulisan] Tantangan-Tantangan yang Muncul Selama Menulis Seri Novel Pamor

Sampul Pamor di revisi terbaru.
Tantangan-Tantangan yang Muncul Selama Menulis Seri Novel Pamor
oleh Jannu A. Bordineo

Karena latar ceritanya bukan di suatu tempat antah-berantah, melainkan di Nusantara dalam kurun waktu awal abad ke-16, tantangan pertama yang kuhadapi selama menulis seri novel Pamor tentu saja menyelipkan peristiwa fiktif ke dalam kronologi sejarah.

Di dua jilid awal (#1 dan #2.1), ada tiga kejadian penting yang menjadi penanda alur waktunya: dua fiktif, satu fakta. Kalau diurutkan berdasarkan waktunya:
1] Peristiwa di Pamor (#1);
2] Pesta Laut di Naga Angin 1 (#2.1);
3] Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis—ini fakta—Agustus 1511.

Jarak waktu antara Pamor (#1) dengan Naga Angin 1(#2.1) sekitar setengah tahun. Kenapa setengah tahun? Ini menyesuaikan dengan latar di novel Pamor (#1) dengan waktu penyelenggaraan Pesta Laut di novel Naga Angin 1 (#2.1).

Di novel Pamor, ada adegan Sitok mengganggu anak-anak yang lagi menunggu mangga jatuh di Kebun Desa. Sedang musim mangga, musim buah-buahan. Buah musiman ini mengikuti musim cuaca. Pohon buah biasanya mulai berbunga di akhir musim kemarau, dan di awal musim hujan ukuran pentil buah sudah lumayan besar untuk bertahan dari terjangan angin dan hujan. Jika kemarau tidak cukup panjang, bunga ini akan rontok kena hujan, demikian juga yang telah menjadi pentil buah, akan ikut rontok diterjang hujan.

Nah, karena di novel #1 itu adegannya menunggu buah jatuh, berarti buah sudah matang. Maka kejadian di novel pertama itu sekitar bulan Desember 1510 atau Januari 1511.

Kenapa aku bisa yakin dengan perhitungan ini? Karena pakai ilmunya leluhur Jawa yang disebut Pranata Mangsa (dibaca: Pranoto Mongso)—mangsa = musim. Dengan sistem ini pula aku bisa menentukan waktu pelaksanaan Pesta Laut enam bulan kemudian—pertengahan tahun 1511—di mangsa terang, ketika hujan mulai jarang turun sehingga perayaan lebih memungkinkan diadakan. Pertimbangan lain, mangsa terang itu setelah mangsa panen—ini berkaitan dengan tujuan diadakannya Pesta Laut.

Jarak waktu antara Pesta Laut dengan jatuhnya Malaka sekitar dua bulan, cukuplah memupuk kegelisahan sebelum 'badai' menerjang.

Untuk alur setelah dua jilid awal, aku menggunakan formula yang sama: menyelipkan peristiwa-peristiwa fiktif di alur sejarah yang ada: ekspedisi Portugis ke Maluku, dan upaya Pati Unus menghalau Portugis.

Tantangan selanjutnya: detail budaya.

Nah, soal budaya ini menjadi tantangan tersendiri. Tidak hanya dalam pengerjaan seri novel Pamor, tetapi juga proyek lain yang kutulis yang menggunakan budaya Nusantara sebagai acuannya.

Seberapa jauh sih, kita paham akan adat istiadat dan budaya kita sendiri?

Sebagai anak blasteran—Jawa-Bugis—pengetahuanku mengenai adat budaya rasanya serba nanggung. Keterbatasan pengetahuan ini kutambal dengan rajin mencari referensi di internet, dan tidak lupa mencari buku-buku referensi yang berhubungan—untuk ini aku mengandalkan repositori perpustakaan kemendikbud.

Tapi, mengutip dari anime Shirobako: "Info di internet dan buku itu selalu ada batasnya. Jadi, kalau lihat dan dengar langsung bisa jadi info berharga." Dan itu yang kulakukan—mengunjungi museum, bertanya kepada orang yang mengerti mengenai suatu perkara.

Detail budaya yang kumaksud di antaranya adalah soal pamor (keris), nama, pakaian, makanan, iptek bahari (maritim science-tech), juga adat istiadat.

Pamor (keris, badik, dsb).
Aku setidaknya harus tahu apa itu pamor, serta bagian-bagian keris. Meski sama-sama berpamor, keris dan badik punya satu pembeda penting: badik tidak memiliki ganja (gonjo). Artikel yang bertebaran di internet cukuplah untuk memberi pengetahuan dasar mengenai tosan aji. Pengetahuanku sedikit bertambah ketika pada awal tahun 2018 ini aku berkesempatan mengunjungi museum keris di Solo.

Nama.
Sebelum menemukan pakemku sendiri, perkara nama bisa menjadi begitu pelik. Entah berapa kali revisi kulakukan karena mengganti nama—revisi terbaru ini pun ada nama yang kuganti. Aku lebih memilih menggunakan nama yang Nusantara banget (entah dari Jawa atau Bugis—dua bahasa daerah yang sedikit kukuasai, atau bahasa daerah lainnya), tapi tidak menutup untuk menggunakan nama India/Sanskerta mengingat pengaruh India sudah masuk sejak lama. Berbekal penguasaan bahasaku, yang juga didukung kamus dan konsultasi dengan orang tua dan sanak saudara yang lebih fasih, sekarang aku bisa mengkreasikan nama seperti Raranggeni—salah satu nama julukan Empu Nil semasa muda yang artinya Gadis Api.

Pakaian.
Aku ingin tahu mengenai ikat kepala suku-suku di Nusantara. Karena ikat kepala ini (destar/udeng/passapu/dll) adalah salah satu tanda kebesaran pria-pria Nusantara zaman dulu, dan setiap suku punya gaya dan namanya masing-masing. Entah sudah ada yang meneliti dan mendokumentasikannya atau belum, kalau ada buku yang membahas soal ini, aku sangat berterima kasih bila diberi tahu.

Makanan.
Ada satu buku yang ingin sekali kubaca mengenai makanan: Jejak Rasa Nusantara. Untuk sekarang, bila aku memasukkan suatu makanan ke dalam cerita, aku periksa dulu bahan-bahan pembuatannya untuk memastikan makanan tersebut tidak menggandung bahan yang baru diperkenalkan oleh penjelajah Eropa. Jadi, kurang lebih begitulah proses dibalik layar adegan macam Sakti nyemil baruasa di Naga Angin 1.
Hewan dan tumbuhan—baik yang dimakan maupun tidak—yang kusebutkan dalam cerita juga kuperiksa asal dan persebarannya.

Ilmu dan Teknologi Bahari.
Nenek moyang kita memiliki kekhasan tersendiri dalam pelayaran. Ilmu navigasinya; konstruksi perahu/kapalnya lain daripada yang lain—tanpa paku, bercadik, layar tanja/tanjak/tanjaq, kemudi samping, dll. Dengan kekhasannya itu, nenek moyang kita sudah mampu mengarungi samudra—persebaran rumpun bahasa Austronesia dan Papua sendiri membuktikan leluhur kita adalah penjelajah samudra. Leluhur kita lebih dulu mencapai Afrika sebelum bangsa Eropa berani mengarungi samudra, dan mungkin juga lebih dulu mencapai Amerika—berdasarkan surat Albuquerque kepada King Manuel I dari Portugal, yang mempersembahkan peta sitaan dari nakhoda Jawa yang memuat daratan Brazil.
Waktu kecil dulu, aku sering mendengar cerita tentang kapal layar tradisional yang bisa berlayar melawan arah angin. Ketika kutelusuri, ternyata itu berkat layar tanjak. Ketika kukonfirmasi ke salah satu kakekku yang Bugis tulen, memang benar katanya.

Adat istiadat.
Pernah dengar istilah kepuhunan/kepohonan? Bagi yang pernah berkunjung ke Kalimantan mungkin pernah dengar. Dalam budaya kita banyak sekali pantangan/pamali. Kadang kala aku memasukkan soal pamali ini selama bisa dijelaskan akal.

***

Selain hal-hal di atas, aku juga menghindari penggunaan kata serapan yang modern. Konsentrasi, fokus, posisi, lokasi, mitos, legenda, legendaris, generasi, lapor/laporan; kata-kata semacam itu kuhindari penggunaannya dan kucarikan padanannya. Memang perlu usaha lebih dan terkadang masih saja ada kata yang tidak ketemu padanannya, tetapi mengasyikkan melakukannya karena aku jadi menemukan banyak kata yang jarang atau malah tidak pernah kudengar sebelumnya ketika mengobok-obok tesaurus dan KBBI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah yang santun dan sesuai dengan isi tulisan.