Tulisan-tulisan yang ada di dalam blog ini dibuat dengan bersusah payah. Hargailah dengan TIDAK meng-COPY/PASTE.

Jumat, 24 Juli 2015

[Cerpen] Untuk Belajar

Cerpen oleh Jannu A. Bordineo

Ar memasuki halaman sekolahnya yang baru dengan penuh semangat. Seragam putih abu-abu pas melekat pada tubuhnya.

Hari itu adalah hari pertama masuk. Semua murid baru dikumpulkan di lapangan. Semuanya, kecuali Ar, memakai aksesoris aneh di sekujur tubuh.
lautankata.com
Semua mata tertuju pada Ar, yang terlihat beda sendiri. Ar tidak ambil pusing, dan memilih cuek.

Kakak kelas, selaku pembimbing, juga memperhatikan Ar. Seorang di antaranya, yaitu siswa dengan badan yang tegap, datang menghampiri. Dia berdiri tepat dihadapan Ar. Matanya melotot, memasang ekspresi wajah yang diseram-seramkan.

"Kemana atributmu?" tanya si kakak kelas dengan kasar.

Ar menggelengkan kepala. "Tidak ada."
lautankata.com
Kemarahan dari si kakak kelas mulai bangkit. "Apa kamu tidak mengetahui peraturan MOS? Apa kamu tidak membaca atau mendengar pengumuman kemarin, heh?" tanyanya dengan lebih keras. Kali ini, semua mata tertuju pada dua orang itu.

"Saya tahu," jawab Ar dengan tenang.

"Lalu, kenapa kamu tidak mengenakan atributmu?" bentak si kakak kelas yang jengkel karena merasa tidak dihargai sebagai senior.
lautankata.com
Diperlakukan kasar, Ar menatap dingin kakak kelasnya itu. Pandangannya tajam menusuk. "Saya sekolah untuk belajar, bukan untuk di-bully!" kata Ar menegaskan pendiriannya.

Si kakak kelas tidak bisa berkata-kata lagi. Rasa malu menyelimuti dirinya. Dan untuk menyembunyikan rasa malunya, dipergunakannya keseniorannya.

"Kamu anak baru belagu!" hinanya seraya mengayunkan tangan ke arah Ar.

Refleks, Ar menangkis tempelengan kakak kelasnya. Kemudian dipelintirnya tangan kakak kelasnya itu. Si empunya tangan meraung-raung kesakitan.
lautankata.com
Beberapa orang kakak kelas pembimbing lainnya berlarian ke arah dua orang yang tengah berkelahi itu. Mereka segera melerai. Dua di antaranya membawa paksa Ar ke kantor kepala sekolah, seolah-olah Ar anak yang bermasalah.

Di sana, kepala sekolah menggeleng-gelengkan kepalanya setelah diceritakan oleh salah seorang siswa pembimbing mengenai insiden yang terjadi di lapangan.

"Bisa-bisanya," masih dengan menggeleng-gelengkan kepala, "di hari pertama masuk, kamu sudah membuat ulah."
lautankata.com
Ar diam saja. Kemudian kepala sekolah melanjutkan, "Mau jadi apa kamu? Preman?"

"Saya hanya membela diri," kali ini Ar buka suara.

"Membela diri dari apa? Dari kesalahan yang kamu buat?"

Ar tahu, kesalahan yang dimaksud adalah keengganan dirinya mengenakan aksesoris-aksesoris aneh. Untuk itu, dia mengulang kembali perkataannya di lapangan tadi dengan keteguhan hati yang tidak berkurang sedikitpun. "Saya sekolah untuk belajar, bukan untuk di-bully!"
lautankata.com
"Di-bully katamu?" Nada bicara kepala sekolah meninggi. Lalu, kepala sekolah bangkit. "Semua kegiatan dalam Masa Orientasi Siswa sudah menjadi budaya sekolah ini. Kurang ajar sekali kamu menyamakannya dengan pem-bully-an!"

"Sesesat itukah bapak, sehingga membiarkan dan melestarikan sebuah budaya negatif yang sedikitpun tak ada gunanya?"

Sang kepala sekolah langsung terduduk. Tak menyangka akan mendapat kritikan pedas dari murid barunya. Wajahnya memerah lantaran malu dan marah yang bercampur menjadi satu.
lautankata.com
"Jika tidak ada lagi yang diperlukan, saya permisi," kata Ar, segera meninggalkan ruang kepala sekolah.

Gambar dari sini. Diedit sendiri oleh penulis.


5 komentar:

  1. Stop perploncoan! Nggak ada gunanya, dan cuma memupuk mental terjajah dalam diri adik-adik kita....

    BalasHapus
  2. Gua selalu ingin bilang, stop hal2 konyol di negeri ini, udah banyak kekonyolan yg menjijikan dan nggak perlu di pertahankan, salah satu ya sistem bully gitu... Udah cukup kok bangsa ini di jajah ama bangsa asing, dan nggak perlu juga senior menjajah junior dengan kata keseniorannya

    BalasHapus
  3. blogditter.com & idaham:
    baru sadar aku. mungkin ini (perploncoan) adalah warisan penjajah. mungkin.

    BalasHapus
  4. Waktu aku masuk SMP dan SMA dulu, nggak ada MOS. Cuma penataran P4 saja :)

    BalasHapus

Berkomentarlah yang santun dan sesuai dengan isi tulisan.