Tulisan-tulisan yang ada di dalam blog ini dibuat dengan bersusah payah. Hargailah dengan TIDAK meng-COPY/PASTE.

Rabu, 07 Oktober 2015

[Cerpen] Moral-Marit

Ilustrasi
Cerpen oleh Jannu A. Bordineo

“Tidak ada tanaman kok ke arah sana,” begitu katamu.

Lucu. Ironis. Aku bingung harus tertawa atau miris mendengar alasanmu. Apa kau tidak melihat, pagar-pagar yang mengelilingi setiap tanaman di sepanjang jalan? Kau tidak melihat atau tidak mau melihat? Itu semua karena peliharaanmu yang kau lepas dan senantiasa mengintai semua tanaman milik tetanggamu.
lautankata.com
Aku heran. Saat kau berkata “Tidak ada tanaman”, apakah kau tidak berpikir? Karena peliharaanmu yang berkeliaran maka tidak ada lagi yang mau menanam. Kalaupun ada sudah pasti habis dilalap peliharaanmu. Sekalipun di sekitar tanaman itu dipagar, cepat atau lambat akan tembus juga sehingga hanya kekecewaan dan kemarahan yang dituai.

Ah. Tentu saja kau tidak akan berpusing-pusing memikirkan tetanggamu. Kampung yang hancur saja tidak menjadi persoalan bagimu.

Sebenarnya aku kasihan pada tetangga-tetanggamu—termasuk aku sendiri. Mereka mencoba mandiri, mencoba mencukupi kebutuhan hidupnya tanpa membeli. Lahan kosong yang terbentang di sekitar rumah mereka tanami. Namun kau—melalui peliharaanmu—muncul sebagai tokoh antagonis bin iblis. Tokoh antagonis yang selalu menang, hingga tidak ada hasil dari yang mereka tanam.
lautankata.com
Aku ingat, ada salah seorang tetanggamu menanam singkong, dipagar keliling, singkong tumbuh subur, sampai pada akhirnya peliharaanmu menerobos masuk, memakan habis singkong-singkong itu sehingga mati tanpa sempat dinikmati hasilnya. Tidak perlu kuingat berapa banyak tanamanku sendiri yang mati dengan cara yang sama. Terlalu menjengkel.

Yang menyedihkan darimu, tidak kulihat setitik pun rasa bersalah dari dirimu. Apa kau merasa suci setelah pergi ke tanah suci? Apa kau merasa bebas dari dosa karena sujud tiap hari? Mungkin saja begitu. Apalagi tetangga-tetanggamu hanya diam, tidak bergerak menuju keadilan dan perubahan,  hanya saling membicarakan keburukanmu di belakang punggung. Bahkan nyaris tidak ada yang meminta ganti rugi karena alasan keluarga.
lautankata.com
Semua pemikiran itu bisa saja salah. Namun lebih bisa benar. Aku tahu, tetangga-tetanggamu tahu, semua orang tahu, bahkan teguran anak-istrimu tidak kau gubris. Bukankah orang yang mengabaikan teguran kebanyakan merasa benar?

Dan sebenarnya lagi, aku lebih kasihan pada dirimu daripada tetangga-tetanggamu yang terganggu. Di masa tuamu, kau menempatkan dirimu sendiri di urutan teratas orang yang paling ditunggu kematiannya oleh warga sekampung. Namun seperti cerita-cerita di buku dan film, tokoh antagonis tidak mati-mati.

Pepatah bilang: manusia mati meninggalkan nama. Dan nama yang kau ukir sekarang ini tidak begitu bagus. Malah sangat tidak bagus. Kasihan sekali.
lautankata.com
Sebagai tetangga yang mencoba tetap bersikap baik di tengah-tengah kejengkelan, kuselipkan sedikit nasihat dalam menanggapi perkataanmu.

“Walau tidak ada tanaman, kalau dilepas begitu ya tetap salah.”

Dan tidak butuh waktu lama bagimu untuk menjawab, “Mau bagaimana? Kalau diambilkan makanan, setengah mati.”

Ternyata nasihatku cuma masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Ingin sekali kuhardik, Kalau tidak mau susah, tidak usah memelihara! Tetapi aku memilih menyingkir pulang daripada kebebalanmu membuatku gelap mata.
lautankata.com
Kau makan nangka tapi tidak mau kena getahnya, eh, malah getahnya kau kasih kena ke orang. Perumpamaan yang tepat untukmu.

Dalam langkah-langkah menuju rumah, aku berpikir, memberbesar skala persoalan dan mengubahnya ke bentuk lain. Lalu aku mendapatkan satu pertanyaan penting:

Seperti inikah wajah Indonesia sekarang?

Di satu pihak, banyak orang merasa benar sendiri. Di pihak lain banyak yang menggunjingkan kekuarangan orang lain. dan kedua pihak sama-sama tidak berbuat apa-apa untuk kemajuan bangsa ini.

Pikiran bebalmu, sejujurnya, telah meluaskan pikiranku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah yang santun dan sesuai dengan isi tulisan.