Tulisan-tulisan yang ada di dalam blog ini dibuat dengan bersusah payah. Hargailah dengan TIDAK meng-COPY/PASTE.

Sabtu, 04 Agustus 2012

Cerpen: Kemelut (Menanti Fajar)

Wajah serdadu itu memelas. Sangat kontras dengan perawakannya yang garang dengan luka bekas sayatan di pipinya. Dia memasuki wilayah pengungsian. Ditemuinya seorang gadis yang terlihat cemas untuk menyerahkan benda yang dititipkan kepadanya. Sebuah kalung dengan liontin berbentuk hati.
LautanKata
Air mata meleleh di pipi gadis itu begitu menerima benda itu. Isak tangisnya perlahan-lahan terdengar. Menyuarakan kepedihan di hatinya. Mentalnya runtuh. Gadis itu sempoyongan dan terjatuh pingsan. Dengan sigap serdadu itu membopong gadis itu masuk kedalam camp pengungsian. Dibaringkannya gadis itu di kamar yang disediakan untuknya. Orangtua gadis itu telah ada di sana. Menemani anaknya yang pingsan dengan air mata yang terus mengalir dari matanya yang terpejam pingsan.

Serdadu itu menghela nafas. Dengan penuh iba dipandanginya gadis itu. Kemudian pandangannya beralih kepada kedua orangtua gadis itu. Dilihatnya kesedihan yang sama dari wajah-wajah tua itu.

"Kapten Wirawan... tidak selamat." Tenggorokan serdadu itu terasa tercekat mengucapkan kata-kata itu.

***

Surabaya, 9 November 1945. Malam jumat itu terasa begitu sunyi dan mencekam di tengah situasi tegang yang bisa berubah menjadi perang kapan saja. Namun kesunyian itu terusik oleh sepasang kekasih yang sedang beradu mulut. Bertengkar.
Lautan Kata
"Aku mohon, dik!" kata sang pria. "Tinggalkan kota ini. Mengungsilah!"

"Kamu tidak bisa memaksaku, mas!" teriak si gadis. "Aku ingin ikut berjuang membela tanah airku."

"Itu yang terbaik untukmu. Untuk orangtuamu juga," pria muda itu terdiam sesaat, "dan untuk kita!" Pria itu terdengar memelas.

"Cukup!" Emosi si gadis tidak tertahankan lagi. "Kamu tidak punya hak mengatur-atur diriku!" Kristal-kristal cair meleleh di pipinya.

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan di pintu menyela keduanya tanpa bisa mengurangi ketegangan. Tampak seorang pria berwajah garang terlihat di depan pintu. Pria yang baru datang itu mengangguk pada pria yang tengah bersitegang dengan kekasihnya itu. Hanya itu saja. Dan pria garang itu pamit undur diri.

Pria muda tadi kembali memandang kekasihnya itu yang segera membuang muka. Dia mencoba meraih tangan gadis itu, yang dengan cepat dan kasar dicampakkan begitu saja uluran tangannya.

"Aku harap kamu mengerti. Aku mencintaimu dan tak ingin sesuatu terjadi padamu," kata pemuda itu penuh iba. "Aku pamit." Pemuda itu berbalik. Ada air mata yang mengalir di pipinya tanpa sang kekasih ketahui.

***
LautanKata
Senin, 13 November 1945, pukul 02.30

Tampak sekelompok serdadu Republik mengendap-endap di wilayah Darmo, pusat kekuatan tentara Sekutu di Surabaya. Perang sudah berlangsung selama tiga hari tanpa ada tanda-tanda akan segera berhenti. Bahkan perlawanan dari pejuang Indonesia semakin sengit. Jauh di luar perkiraan pihak Sekutu.

Wilayah Darmo relatif sepi dari pertempuran karena di sini terdapat konsentrasi tentara Sekutu dalam jumlah banyak. Dengan perlindungan tank dan kendaraan lapis baja lainnya yang selalu hilir mudik membuat wilayah ini sulit disentuh pejuang Indonesia. Hanya beberapa pejuang nekat saja yang kadang mencapai wilayah ini.

Tapi, sekelompok kecil pasukan yang mengendap-endap saat malam mulai turun ini, bukanlah asal menerobos benteng pertahanan musuh. Mereka bersenjata lengkap. Mendapatkan perintah langsung dari TKR pusat. Misi mereka adalah menyabotase fasilitas Sekutu. Melakukan penyerangan di depan hidung musuh dan menjadikan serangan itu sebagai terapi kejut pada Sekutu yang memandang remeh kekuatan tentara dan pejuang Republik.

Beberapa kali kelompok kecil ini hampir kepergok patroli musuh. Saat salah seorang dari mereka, yang merupakan pemimpin mereka, memberi isyarat, kelompok yang berjumlah tak lebih dari 20 tentara itu menyebar membentuk 4 kelompok yang lebih kecil. Masing-masing dari mereka membawa secarik kertas yang tersketsa peta letak sebuah bangunan di wilayah itu.

***
Lautan Kata
Pukul 03.50

Saat dinginnya udara mulai menusuk tulang, terdengar suara tembakan tak terlalu jauh dari gudang logistik Sekutu. Dan semakin gencar. Saat tentara Sekutu mulai merespon tembakan, gudang logistik mereka meledak dengan dahsyat.

Tentara Sekutu terhenyak. Suara sirine segera meraung-raung. Lampu-lampu sorot menyala mencari-cari pelaku penyerangan. Sedangkan kobaran api raksasa memerahkan langit Surabaya mendahului sang fajar.

Diantara kemelut itu, terlihat seseorang tentara berlari menjauhi gedung yang terbakar itu. Tentara itu memasuki gang sempit yang di dalamnya telah menunggu rekan-rekannya.

"Bagaimana, Mar?" tanya salah seorang tentara yang lebih dulu ada di gang kecil itu.

"Tak ada yang tersisa, Kapten," jawab tentara yang baru datang. Nafasnya terengah-engah.

Kapten muda pemimpin pasukan itu, melihat satu-satu wajah prajuritnya yang tersisa hanya 9 orang. Kegiatannya berhenti saat ada tembakan yang mengarah ke mereka. Berondongan peluru tanpa jeda membuat mereka meringkuk di balik apapun yang bisa melindungi mereka dari lesatan-lesatan kematian itu.

Kapten Wirawan memejamkan matanya untuk sejenak. Mencari-cari konsentrasi di antara tembakan gencar yang diarahkan kepada dirinya dan pasukannya. Tapi, yang didapatinya adalah bayangan sang kekasih. Sebuah perwujudan kerinduan.

Pria muda itu menghela nafas. "Sepertinya tidak ada bantuan untuk kita." Ya, bantuan yang dijanjikan pemimpin berupa serangan gencar ke arah Darmo untuk mengalihkan konsentrasi pihak Sekutu agar pasukan Kapten Wirawan, yang melakukan misi sabotase, bisa meloloskan diri.

"Kalian siap?" tanyanya kemudian.
LautanKata
Tak ada suara. Hanya anggukan dari prajurit-prajurit itu.

Kapten Wirawan memulai tembakan balasan. Diikuti pasukannya. Mereka segera keluar dari gang kecil itu sebelum tempat itu rata dengan tanah. Di luar gang, satu tank menyambut mereka dengan tembakan meriamnya. Kalang kabut mereka mencoba menghindar meski serpihan-serpihan ledakan tetap mengenai mereka.

Tentara Sekutu yang sudah mengetahui posisi buruannya segera melancarkan serangan tanpa ampun kepada pasukan Kapten Wirawan yang dengan tabah melewati tiap-tiap peluru, granat maupun meriam yang datang menyerang sambil sesekali memberikan tembakan balasan yang hampir tak berarti.

Saat sampai di sebuah persimpangan jalan, salah seorang prajurit yang berada paling belakang tertembak.

"Tinggalkan aku! Tinggalkan aku!" teriak prajurit yang tertembak di pahanya itu saat rekannya datang menolong. Sementara lainnya membuat posisi bertahan di tengah persimpangan yang penuh puing-puing bangunan.

Segera tempat itu menjadi sasaran tempak tentara Sekutu. Tanpa jeda, ratusan amunisi ditembakkan.

"Kita harus bergerak, Kapten!" seru salah seorang prajurit berwajah garang yang bernama Umar.

"Aku tahu!" sahut sang kapten. "Kita hanya butuh sedikit kesempatan di antara tembakan-tembakan itu."

Dan harapan sang kapten seperti didengar dan langsung dikabulkan Tuhan. Di kejauhan mulai terdengar suara tembakan. Pasti itu pasukan Republik, sorak Kapten dalam hati. Akhirnya bantuan datang meski lumayan terlambat.

Pasukan yang terluka itu mencoba bergerak dari persimpangan itu dan...
Lautan Kata
BLARRR!!!!

Sebuah mortir meledak beberapa meter dari persimpangan itu. Empat orang prajurit tewas seketika. Lainnya luka-luka cukup parah. Sedangkan sebuah tank mendekat ke arah mereka.

"Kau tidak apa-apa, Umar?" tanya sang Kapten tanpa mempedulikan keadaannya sendiri yang berlumuran darah oleh luka-lukanya. Keadaan Umar pun tak jauh berbeda.

"Tak masalah, kapten," jawab Umar sambil nyengir kesakitan. "Tapi tank itu adalah masalah." Umar menunjuk tank yang semakin mendekat.

Kapten Wirawan melihat sejenak ke arah tank itu. Kemudian memejamkan matanya untuk sejenak. Kembali bayangan sang kekasih muncul memenuhi kalbunya. Setelah itu membuka matanya dan merogoh sesuatu yang menggantung di lehernya.

"Tolong sampaikan pada gadisku!" kata pria muda itu pada sahabat akrabnya itu sambil menyerahkan sebuah kalung dengan liontin berbentuk hati yang menggantung indah.

Umar menolak. "Jika kita kembali, kita harus kembali bersama!"

"Aku akan menghentikan tank itu. Dan kamu bawa rekan kita yang tersisa ke wilayah Republik. Ini perintah!" kata sang kapten mengakhiri pembicaraan. Diserahkan pula kalungnya pada Umar.
LautanKata
Umar tak bisa membantah lagi. Saat sang fajar mulai menyingsing, Umar dan tiga orang tentara lainnya mulai bergerak ke arah pasukan RI. Sedangkan sang kapten mengendap-endap mendekati tank yang mencoba menghalangi anak buahnya dengan bom tarik di tangannya.

Ketika fajar telah datang sepenuhnya, sebuah tank meledak dan empat pasukan RI yang terluka itu menemukan rekan-rekannya.

Cerpen oleh Jannu A. Bordineo

2 komentar:

  1. wih. bagus kok cerpen lo. serius. gua jadi membayangkan dalam situasi perang. dua jempol deh

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih. saya masih belajar fakta-fakta sejarah agar latar belakang tempat dan waktunya bisa lebih baik lagi. :)

      Hapus

Berkomentarlah yang santun dan sesuai dengan isi tulisan.