Tulisan-tulisan yang ada di dalam blog ini dibuat dengan bersusah payah. Hargailah dengan TIDAK meng-COPY/PASTE.

Selasa, 21 Februari 2012

UJUNG DUNIA 4 - NAMA YANG MELEGENDA

(Ujung Dunia: Bab 4 - Nama Yang Melegenda)

Tidak seperti biasanya, galangan lama dari “Bengkel Jaya” kembali ramai oleh suara pukulan palu, gergaji dan sebagainya. Suara ini bukan berasal dari para tukang dari “Bengkel Jaya”, melainkan berasal dari Feno dan kawan-kawan yang sedang memperbaiki kapal yang baru saja mereka peroleh dari Pak Jaya.
LautanKata
Galangan itu masih berupa galangan tradisional yang memanfaatkan pasang surut air laut dan kondisinya sudah sangat tidak terawat—dengan ditumbuhi rumput yang cukup lebat—karena lama tidak terpakai. Galangan itu berbentuk seperti  kolam atau tambak besar dengan pintu air yang lebar. Saat air pasang tadi pagi, Feno dkk membuka pintu air itu sehingga air laut dapat masuk ke dalam “kolam” itu sehingga kapalnya dapat dengan mudah dimasukkan dalam galangan. Pintu air itu tetap dibuka sampai air laut surut kembali sehingga galangan kering seperti saat ini. Kemudian pintu air itu ditutup kembali agar saat air pasang, air tidak akan masuk ke dalam galangan.

Dalam mengerjakan perbaikan kapal itu, Rondi memimpin kawan-kawannya. Dia yang paling hebat dalam urusan tukang-menukang. Terlihat Rondi sedang membuat tiang kapal sebagai penggnti tiang utama kapal—yang merupakan satu-satunya tiang di kapal itu—dengan dibantu oleh Jocker dan Feno. Tiang baru itu berupa tiang yang terbuat dari balok-balok kayu kecil yang direkatkan dengan paku pasak dan diperkuat dengan ditambah lem kayu. Mereka tidak menggunakan kayu besar yang utuh sebagai tiang karena sangat sulit mendapatkan kayu seperti itu setelah perang.

Sementara itu di sisi yang lain, Lee dan Al tengah sibuk membuat penyangga kapal. Penyangga itu nantinya berfungsi agar kapal tetap tegak saat mereka membongkar bagian bawah kapal. Memang, kondisi lambung kapal itu—terutama lambung di bawah batas air—sangat memprihatinkan. Sudah lapuk. Bahkan lunas kapal—yang merupakan bagian terpenting dari sebuah kapal—akan mengelupas walau digaruk menggunakan  jari tangan karena begitu lapuknya.

Saat tengah asik memasang dan memaku kayu penyangga, Al melihat sebuah plat yang terletak di lambung kiri atas. Plat itu terletak di ujung—atau awal?—ukiran aneh yang memenuhi bagian atas lambung kapal sepanjang badan kapal itu.
Al menghentikan sejenak pekerjaannya dan melepas plat itu dengan mencabut baut yang merekatkannya pada lambung kapal. Diperhatikannya plat itu. Ukurannya sekitar 30X10 cm dengan tebal 1 cm. Al menduga plat itu terbuat dari stainless steel, baja tahan karat karena plat itu tidak berkarat. Hanya terlapisi oleh semacam lapisan kuning—mungkin karat tipis—yang menutupi seluruh permukaan plat.

Setelah diperhatikan lagi, ada kontur tertentu, yang sudah tidak jelas, terukir atau tercetak dipermukaan plat itu. Mungkin ini ukiran nama kapal ini, pikirnya.

 “Buyung!!!” panggil Al pada anak yang paling muda di antara mereka yang tugasnya hanya membantu mengambilkan peralatan yang teman-temannya butuhkan.
LautanKata
“Apa?” jawab anak itu sambil berlarian kearah Al.

“Tolong bersihkan ini dengan amplas!” suruh Al. Ternyata dia penasaran ingin mengetahui nama kapal itu.

Buyung mengangguk dan segera melaksanakan perintah Al. Dia terlihat senang karena ada hal yang dapat dilakukannya daripada berdiam diri saja.

***

Sementara itu, dari jalan pelabuhan ada seseorang—yang memakai penutup kepala—memperhatikan anak-anak yang tengah sibuk memperbaiki kapal mereka. Galangan lama itu memang terlihat cukup jelas dari jalan pelabuhan. Orang aneh itu kemudian pergi saat ada orang lain yang melintasi jalan itu.

Orang yang baru melintas itu sempat melihat orang aneh itu memperhatikan sesuatu ke arah laut. Orang itupun melihat kearah laut.

“Hei!!!” teriak orang itu sekeras-kerasnya.

Anak-anak itu menoleh dan melihat seseorang berlari kearah mereka. Sekilas saja mereka melihat dan kembali bekerja lagi.

“Sedang apa kalian di sini?” tanya orang itu setelah sampai di galangan. Nafasnya naik-turun.

“Sedang beol,” jawab Rondi asal. “Sudah tau kita sedang apa, mash saja tanya,” lanjutnya dengan ketus.

“Hehehe, maaf!”

“Eh, Kang Met! Kok sudah pulang?” Sambutan dari Feno jauh lebih ramah dari pada Rondi.

Kang Met adalah teman Feno dkk sesama kuli bongkar-muat di pelabuhan. Nama lengkapnya adalah Slamet dan usianya 20 tahunan. Tapi, Feno dkk memnggilnya Kang Met.

“Hari ini pelabuhan sangat sepi. Karenanya aku pulang lebih awal,” kata Kang Met. “Ngomong-ngomong, kapal siapa yang kalan perbaiki?”

“Kapal kami,” jawab Feno tanpa berpanjang lebar.
LautanKata
Kang Met cukup terkejut mendengarnya. Tak disangkanya anak-anak ini mampu untuk membeli kapal. Meskipun kapal yang mereka beli kondisinya—setelah diperhatikannya—sangat mengenaskan, tetap saja itu butuh uang yang tidak sedikit. Tapi, setelah dia mengingat perjuangan anak-anak ini dia tidak ragu lagi.

***

Sementara yang lain masih sibuk bekerja dan Kang Met asik memperhatikan  kondisi kapal, Buyung telah selesai dengan pekerjaannya. Plat yang tadi penuh dengan lapisan kuning itu kini menjadi kinclong. Benda itu berwarna keperakan. Dan memang ada tulisan d situ dengan huruf timbul.

Buyung yang belum lancar membaca dengan sulit mengingat-ingat huruf-huruf itu. Ada penyesalan dalam dirinya yang mengabaikan perkataan Lee yang menyuruhnya untuk terus belajar membaca.

“ME-GA-LO-MA-NI-A,” eja Buyung dengan susah payah.

Semua anak itu menghentikan pekerjaannya dan melihat ke arah Buyung. Buyung yang masih kecil menjadi takut dilihati seperti itu. Sedangkan Kang Met seperti mendengar gledek di siang bolong, kaget bukan main.

“Apa kau bilang?” cecar Kang Met seraya menghampiri Buyung.

Buyung yang ketakutan langsung menangis.

Melihat Buyung menangis, dengan murka Rondi memburu ke arah Kang Met. Tangannya mengepal dengan keras. Kemarahan tergambar jelas di wajahnya. Entah mengapa, dia menjadi begitu emosi.  Rondi yang periang dan murah senyum, kini menjadi seperti banteng yang mengamuk.

Kang Met yang tidak sadar akan keadaan seperti pasrah melihat pukulan Rondi yang  mengarah padanya.

Nyaris saja semua gigi Kang Met rontok jika Feno tidak menepis pukulan Rondi yang luar biasa kuat.

“Kendalikan dirimu, Ron!” bentak Feno. “Jangan termakan emosi!”

Rondi masih saja gelap mata dan mencoba memukul Kang Met lagi. Untung saja teman-teman lainnya datang dan menghentikan Rondi.
LautanKata
“Kamu,” seru Feno pada Kang Met, “jangan pernah melakukan hal konyol itu lagi.

Kang Met menelan ludah melihat tatapan mata Feno yang tajam dan dingin. Tapi, karena merasa lebih tua, Kang Met tidak mempedulikan tatapan itu meskipun dia tidak memungkiri ada kepanikan dalam dirinya.

“Maafkan tindakanku tadi,” kata Kang Met tanpa ada penyesalan. “ Tapi ini ‘Megalomania’, bung! Wajar jika aku terkejut. Tidak pernahkah kau mendengarnya?”

“Sejujurnya kami tidak peduli dengan ‘Megalomania’ atau apapun yang kau katakan,” sahut Al.

Kegelisahan terlihat jelas pada diri Kang Met saat Al mulai ikut campur. Dia mendadi salah tingkah.

“Ada apa ini?” tanya Pak Jaya yang tiba-tiba datang. Kedatangannya yang tiba-tiba membuat suasana yang tegang sedikit mencair.

“Tidak apa-apa. Hanya sedikit kesalahpahaman,” terang Feno tenang. “Tumben anda kemari,” tambahnya.

“Aku datang kesini.ingin melihat pekerjaan kalian dan dari jauh aku melihat ada keributan, jadi sekalian saja aku kemari.” Pak Jaya memperhatikan Kang Met, “Dan kenapa pula kau ada di sini?”

“Kebetulan lewat dan melihat sesuatu yang menarik,” jawab Kang Met.

“Apa maksudmu?”
Megalomania.” Kang Met menunjuk plat tersebut—yang sekarang dibawa Lee.

Pak Jaya cukup terkejut mendengar kata itu. Dia mengamati kapal tua yang dulu miliknya itu. Ada kekaguman dan ketidakpercayaan dalampandangannya.

“Tak kusangka, kau benar-benar ada,” gumam Pak Jaya.

“Anda tahu apa itu?” tanya Feno pada Pak Jaya. “Bagaimana denganmu Lee?”

Lee yang oleh teman-temannya dijuluki “Perpustakaan Bergerak”, karena pengetahuanya yang begitu luas, mengangguk. “Aku tahu sedikit cerita itu.”

Megalomania,” perhatian Pak Jaya kembali pada anak-anak itu, ”namanya begitu melegenda di antara para pelaut, di seluruh samudra. Kapal yang lebih hebat daripada kapal terhebat, Mata Angin.
LautanKata
“Bagaimana bisa? Apa hanya karena kapal itu telah menjadi salah satu legenda lautan?”

“Setidaknya itu legenda yang nyata, bukan?” kata Pak Jaya seraya duduk di tumpukan kayu. Senyum kesenangan merekah di bibirnya. “Jadi, maukah kalian berhenti sejenak untuk mendengarkan sedikit dongeng lautan?” Cerutu besar diambil dan diselipkannya di mulut kemudian menyalakannya.

Cerbung oleh Jannu A. Bordineo
Sebelumnya | Selanjutnya
Prolog

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah yang santun dan sesuai dengan isi tulisan.